Psikologi Manajemen : Leadership

Pendahuluan

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah & memilih mana yang baik & mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik. Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan social manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri. Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok & lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik & sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.

Teori

A. Definisi Leadership

1. Ralph M. Stogdill dalam Sutarto (1998) memberikan pengertian kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan sekelompok orang yang terorganisasi dalam usaha mereka menetapkan dan mencapai tujuan.

2. Menurut Hemphill and Coons (1957) bahwa kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang akan dicapai bersama.

3. Menurut Janda (1960) kepemimpinan adalah suatu jenis hubungan kekeuasaan yang ditandai oleh persepsi anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk merumuskan pola perilaku dari anggota yang pertama dalam hubungannya dengan kegiatannya sebagai anggota kelompok.

4. Menurut Rauch and Behling (1984) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasikan kearah pencapaian tujuan.

5. Menurut Jacobs and Jacques (1990) kepemimpinan adalah interaksi antarmanusia dimana salah satunya menyajikan suatu jenis informasi tertentu sedemikian rupa sehingga yang lain yakin bahwa hasilnya akan lebih baik jika ia berperilaku sesuai dengan cara-cara yang dianjurkan atau diharapkan.

6. Sedangkan Sutarto (1998) mendefinisikan kepemimpian sebagai rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersama-sama atau secara bekerja sama atau sesuai dengan aturan atau sesuai dengan tujuan bersama.

B. Teori Kepemimpinan Partisipatif

1. Teori x & teori y dari Douglas MxGregor

Teori prilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x atau teori y.

a. Teori X

Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.

b. Teori Y

Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.

Teori ini merupakan salah satu teori kepemimpinan yang masih banyak penganutnya. Menurut McGregor, organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Teori Y.

2. Teori sistem 4 dari Rensis Likert

Gaya Kepemimpinan yang berlandaskan pada hubungan antara manusia melalui hasil produksi dari sudut pandang manajemen yang kemudian dikenal dengan Four Systems Theory. Empat Sistem Kepemimpinan menurut Likert tersebut antara lain :

a. Sistem Otokratis Eksploitif

Pada sistem Otokratis Eksploitif ini, pemimpin membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh pemimpin. Pemimpin tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan yang rendah terhadap bawahannya, memotivasi bawahan melalui ancaman atau hukuman. Komunikasi yang dilakukan satu arah ke bawah (top-down).

Ciri-ciri sistem otokratis eksploitif ini antara lain:
  • Pimpinan menentukan keputusan 
  • Pimpinan menentukan standar pekerjaan 
  • Pimpinan menerapkan ancaman dan hukuman
  • Komunikasi top down 

b. Sistem Otokratis Paternalistic

Pada sistem ini, Pemimpin tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. Berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Pemimpin mempercayai bawahan sampai tingkat tertentu, memotivasi bawahan dengan ancaman atau hukuman tetapi tidak selalu dan memperbolehkan komunikasi ke atas. Pemimpin memperhatikan ide bawahan dan mendelegasikan wewenang, meskipun dalam pengambilan keputusan masih melakukan pengawasan yang ketat.

Ciri-ciri dri sistem Otokratis Paternalistic atau Otoriter Bijak, antara lain:
  • Pimpinan percaya pada bawahan
  • Motivasi dengan hadiah dan hukuman
  • Adanya komunikasi ke atas
  • Mendengarkan pendapat dan ide bawahan
  • Adanya delegasi wewenang 

c. Sistem Konsultatif

Pada sistem ini, Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan – keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman.

Pemimpin mempunyai kekuasaan terhadap bawahan yang cukup besar. Pemimpin menggunakan balasan (insentif) untuk memotivasi bawahan dan kadang-kadang menggunakan ancaman atau hukuman. Komunikasi dua arah dan menerima keputusan spesifik yang dibuat oleh bawahan.

Ciri-ciri Sistem konsultatif antara lain:
  • Komunikasi dua arah 
  • Pimpinan mempunyai kepercayaan pada bawahan 
  • Pembuatan keputusan dan kebijakan yang luas pada tingkat atas 

d. Sistem Partisipatif

Sistem partisipatif adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila pemimpin secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, pemimpin tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting. Pemimpin mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap bawahan, menggunakan insentif ekonomi untuk memotivasi bawahan. Komunikasi dua arah dan menjadikan bawahan sebagai kelompok kerja.

Ciri-ciri Sistem Partisipatif antara lain:
  • Team work
  • Adanya keterbukaan dan kepercayaan pada bawahan
  • Komunikasi dua arah (top down and bottom up) 

3. Teori of leadership Pattern choice dari Tannenbaum & Schmidt

Tahun 1957, Robert Tannenbaum dan Warren Schmidt menulis salah satu artikel yang paling revolusioner yang pernah muncul dalam The Harvard Business Review. Artikel ini, berjudul “Bagaimana Memilih sebuah Pola Kepemimpinan, adalah signifikan dalam bahwa itu menunjukkan gaya kepemimpinan adalah pilihan manajer.

Tujuh “pola kepemimpinan” yang di identifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt.

Pola kepemimpinan ditandai dengan angka-angka di bagian bawah diagram ini mirip dengan gaya kepemimpinan, tetapi definisi dari masing-masing terkait dengan proses pengambilan keputusan. Demokrasi (hubungan berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan.Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin. Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.

a. Kepemimpinan Pola 1: “Pemimpin izin bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan oleh superior.”

Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk bertemu.

b. Kepemimpinan Pola 2: “Pemimpin mendefinisikan batas-batas, dan meminta kelompok untuk membuat keputusan.”

Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana hari adalah yang terbaik

c. Kepemimpinan Pola 3: “Pemimpin menyajikan masalah, mendapat kelompok menunjukkan maka pemimpin membuat keputusan.”

Contoh: Pemimpin meminta tim untuk menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim akan bertemu.

d. Kepemimpinan Pola 4: “Pemimpin tentatif menyajikan keputusan untuk kelompok. Keputusan dapat berubah oleh kelompok.”

Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah hari Rabu akan menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari lain yang mungkin lebih baik.

e. Kepemimpinan Pola 5: “Pemimpin menyajikan ide-ide dan mengundang pertanyaan.”

Contoh: Pemimpin tim mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Rabu untuk pertemuan tim. Pemimpin kemudian meminta kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.

f. Kepemimpinan Pola 6: “Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang benar.”

Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Rabu. Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Rabu adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.

g. Kepemimpinan Pola 7: “Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup.”Contoh: Pemimpin memutuskan bahwa tim akan bertemu pada hari Rabu apakah mereka suka atau tidak, dan mengatakan bahwa berita itu kepada tim.

4. Teori kepemimpinan dari konsep Modern Choice Approach to Participation yang memuat decicion tree for leadership dari Vroom & Yetton

Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.

Normative Theory dari Vroom and Yetton sebagai berikut :
  • AI (Autocratic): Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan informasi yang ada.
  • AII (Autocratic): Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral.
  • CI (Consultative): Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
  • CII (Consultative): Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
  • GII (Group Decision): Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus. 
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.

Normative Theory: Rules Designed To Protect Decision Quality (Vroom & Yetton, 1973). 
  • Leader Information Rule: Jika kualitas keputusan penting dan anda tidak punya cukup informasi atau ahli untuk memecahkan masalah itu sendiri, eleminasi gaya autucratic.
  • Goal Congruence Rule: Jika kualitas keputusan penting dan bawahan tidak suka untuk membuat keputusan yang benar, aturlah keluar gaya partisipasi tertinggi.
  • Unstructured Problem Rule: Jika kualitas keputusan penting untuk anda kekurangan cukup informasi dan ahli dan masalah ini tidak terstruktur, eliminasi gaya kepemimpinan autocratic.
  • Acceptance Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, eliminasi gaya autocratic.
  • Conflict Rule: Jika persetujuan dari bawahan adalah krusial untuk implementasi efektif, dan mereka memegang opini konflik di luar makna pencapaian beberapa sasaran, eliminasi gaya autocratic.
  • Fairness Rule: Jika kualitas keputusan tidak penting, namun pencapaiannya penting, maka gunakan gaya yang paling partisipatif.
  • Acceptance Priority Rule: Jika persetujuan adalah kritikan dan belum tentu mempunyai hasil dari keputusan autocratic dan jika bawahan tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang paling partisipatif. 
Model ini membantu pemimpin dalam menentukan gaya yang harus dipakai dalam berbagai situasi. Tidak ada satu gaya yang dapat dipakai pada segala situasi. Fokus utama harus pada masalah yang akan dihadapi dan situasi di mana masalah ini terjadi. Gaya kepemimpinan yang digunakan pada satu situasi tidak boleh membatasi gaya yang dipakai dalam situasi lain.

Hal-hal yang harus diperhatikan :
  • Beberapa proses sosial mempengaruhi tingkat partisipasi bawahan dalam pemecahan masalah.
  • Spesifikasi kriteria untuk menilai keefektifan keputusan yang termasuk dalam keefektifan keputusan antara lain: kualitas keputusan, komitmen bawahan, dan pertimbangan waktu.
  • Kerangka untuk menggambarkan perilaku atau gaya pemimpin yang spesifik.
  • Variabel diagnostik utama yang menggambarkan aspek penting dari situasi kepemimpinan. 
5. Teori kepeimimpinan dari konsep Contigency theory of leadership dari Fiedler

Para pemimpin mencoba melakukan pengaruhnya kepada anggota kelompok dalam kaitannya dengan situasi-situasi yang spesifik. Karena situasi dapat sangat bervariasi sepanjang dimensi yang berbeda, oleh karenanya hanya masuk akal untuk memperkirakan bahwa tidak ada satu gaya atau pendekatan kepemimpinan yang akan selalu terbaik.

Penerimaan kenyataan dasar ini melandasi teori tentang efektifitas pemimpin yang dikembangkan oleh Fiedler, yang menerangkan teorinya sebagai Contingency Approach. Asumsi dasar adalah bahwa sangat sulit bagi pemimpin untuk mengubah gaya kepemimpinan yang telah membuat ia berhasil, penekanan pada efektifitas dari suatu kelimpok, efektivitas suatu organisasi tegantung pada (is contingent upon), dua variable yang saling berinteraksi yaitu: 1) system motivasi dari pemimpin, 2) tingkat atau keadaan yang menyenangkan dari situasi.

Model kepemimpinan kontijensi Fiedler (1964, 1967) menjelaskan bagaimana situasi menengahi hubungan antara efektivitas kepemimpinan dengan ukuran ciri yang disebut nilai LPC rekan kerja yang paling tidak disukai (Yukl, 2005:251). Fiedler menemukan bahwa tugas pemimpin berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol rendah dan moderat dan hubungan manajer berorientasi lebih efektif dalam situasi kontrol moderat.

Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang / hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi.

Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif disbanding pemimpinan dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat.

Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).

System kepemimpinan dibagi menjadi 3 dimensi:

a. Hubungan pemimpin-pengikut

Pemimpin akan mempunyai lebih banyak kekuasaan dan pengaruh, apabila ia dapat menjalin hubungan yang baik dengan anggota-anggotanya, artinya kalau ia disenangi, dihormati dan dipercaya.

b. Struktur tugas

Bahwa penugasan yang terstruktur baik, jelas, eksplisit, terprogram, akan memungkinkan pemimpin lebih berpengaruh dari pada kalau penugasaan itu kabur, tidak jelas dan tidak terstruktur.

c. Posisi kekuasaan

Pemimpin akan mempunyai kekuasaan dan pengaruh lebih banyak apabila posisinya atau kedudukannya memperkenankan ia memberi hukuman, mengangkat dan memecat, dari pada kalau ia memiliki kedudukan seperti itu.

6. Teori kepemimpinan dari konsep Path Goal theory

Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena efek positif yang mereka berikan terhadap motivasi para pengikut, kinerja dan kepuasan. Teori ini dianggap sebagai path-goal karena terfokus pada bagaimana pemimpim mempengaruhi persepsi dari pengikutnya tentang tujuan pekerjaan, tujuan pengembangan diri, dan jalur yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan (Ivancevich, dkk, 2007:205).

Dasar dari path goal adalah teori motivasi ekspektansi. Teori awal dari path goal menyatakan bahwa pemimpin efektif adalah pemimpin yang bagus dalam memberikan imbalan pada bawahan dan membuat imbalan tersebut dalam satu kesatuan (contingent) dengan pencapaian bawahan terhadap tujuan sepsifik.

Perkembangan awal teori path goal menyebutkan empat gaya perilaku spesifik dari seorang pemimpin meliputi direktif, suportif, partisipatif, dan berorientasi pencapaian dan tiga sikap bawahan meliputi kepuasan kerja, penerimaan terhadap pimpinan, dan harapan mengenai hubungan antara usaha, kinerja, imbalan.

Model kepemimpinan jalur tujuan (path goal) menyatakan pentingnya pengaruh pemimpin terhadap persepsi bawahan mengenai tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalur pencapaian tujuan. Dasar dari model ini adalah teori motivasi eksperimental. Model kepemimpinan ini dipopulerkan oleh Robert House yang berusaha memprediksi ke-efektifan kepemimpinan dalam berbagai situasi

Kesimpulan

Kepemimpinan menurut para peneliti dan praktisi mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif‐ perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik perhatian mereka. Teori kepemimpinan partisipatif dibagi menjadi enam macam yaitu: Teori X & Teori Y dari Dougles Mc Gregor, Teori 4 sistem dari Rensit Likert, Theory of Leadership Pattern Choice dari Tannebowm and Schmidt, Teori kepemimpinan dari konsep modern choice approach participation yang memuat decicion tree for leadership dari vroom & yetten, Teori kepemimpinan dari konsep Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler dan Teori kepemimpinan dari konsep path goal theory.

Daftar Pustaka
  • Alfian, M. Alfan. (2009). Menjadi pemimpin politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  • Ismainar, H. (2015). Manajemen unit kerja. Yogyakarta: Deepublish.
  • Ivancevich, dkk. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta : Erlangga.
  • Purwanto, D. 2006. Komunikasi Bisnis. Jakarta: PENERBIT ERLANGGA
  • Kartini Kartono. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Grafindo Persada
  • Djamaludin Ancok. Hubungan Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional dengan Motivasi Bawahan di Militer. Journal of Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Volume 32 (2) 112-127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar