BAB I
LATAR BELAKANG
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Setiap bentuk aspek kehidupan manusia baik pribadi, keluarga maupun dalam berbangsa dan bernegara yang sedang membangun, banyak ditentukan oleh kemajuan. Pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Secara garis besar proses pendidikan dapat terjadi dalam tiga lingkungan pendidikan yang terkenal dengan sebutan Tri Logi pendidikan yaitu pendidikan di dalam keluarga (Pendidikan Informal), pendidikan di dalam sekolah (Pendidikan Formal) dan Pendidikan di dalam Masyarakat (Pendidikan Non Formal).
Peranan keluarga dalam perkembangan sosial anak-anaknya tidak perlu diuraikan panjang lebar. Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 2004: 195) (Rizka: 2013).
Peranan perhatian orang tua dalam lingkungan keluarga yang penting adalah memberikan pengalaman pertama pada masa anak-anak. Hal tersebut karena pengalaman pertama merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi dan menjamin kehidupan emosional anak. Keberhasilan anak tidak lepas dari peran penting keluarga terutama orang tua dalam memberikan perhatian akan kebutuhan material dan non material.
Perhatian kebutuhan material meliputi fasilitas belajar dan biaya, sedangkan kebutuhan non material berupa dorongan positif agar anak mempunyai kemampuan untuk belajar. Perhatian orang tua dapat memotivasi anak menjadi rajin belajar di sekolah maupun di rumah. Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak alasan, atau dorongan dalam diri manuasia yang memyebabkan ia berbuat sesuatu (Gerungan, 2004: 151) (Rizka: 2013).
Adapun belajar, menurut Slameto (1997: 2) (Rizka: 2013) adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali pengaruhnya, oleh karena itu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar.
Motivasi setiap anak untuk belajar pastinya berbeda-beda. Motivasi sudah ada saat anak akan melakukan sesuatu, setiap anak perlu mengetahui apa sebenarnya motivasi belajar mereka. Motivasi harus sudah ditanamkan pada anak ketika ia mau sekolah, untuk apa ia sekolah. Perhatian mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul dan berpegaruh pada anak bila materi pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Bila materi pelajaran dirasakan berguna untuk kehidupan sehari-hari, materi itu akan memotivasi anak untuk mempelajarinya. Lemahnya motivasi belajar anak disebabkan oleh macam-macam hal, diantarnya latar belakang keluarga yang bermasalah.
BAB II
LANDASAN TEORI
Motif berasal dari bahasa Latin movere yang berarti bergerak atau bahasa inggrisnya to move. Motif diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong untuk berbuat (driving force). Motif tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dengan faktor-faktor lain, baik faktor eksternal (misalnya ingin belajar dengan baik agar mendapatkan lapangan pekerjaan dengan gaji yang baik), maupun faktor internal (lapar ingin makan, haus ingin minum). Hal-hal yang mempengaruhi motif disebut motivasi.
Jadi motivasi adalah keadaan dalam diri individu atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan (Walgito, 2004: 220). Sedang menurut Plotnik (2005: 328), motivasi mengacu pada berbagai faktor fisiologi dan psikologi yang menyebabkan seseorang melakukan aktivitas dengan cara yang spesifik pada waktu tertentu.
Untuk memahami tentang motivasi, berikut ini adalah beberapa teori tentang motivasi dari berbagai tokoh, antara lain:
1. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu: (1) kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti: rasa lapar, haus, istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4) kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan” yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan, atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua (dalam hal ini keamanan) sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa:
a. Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang,
b. Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya,
c. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan: “Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil”. Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu: (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasisituasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan)
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
4. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekuensi eksternal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi yang merugikan. Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru ketik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru ketik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru ketik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi di kemudian hari. Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekuensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
ANALISA KASUS
Sekolah Menegah Pertama Negeri 3 Pegandon merupakan sekolah negeri yang lokasinya berada ditengah kampung desa Karangmulyo Pegandon, siswanya sebagian berasal dari keluarga menegah kebawah dengan pekerjaanya orang tua sebagian buruh home industry. Ketebatasan ekonomi menyebabkan orang tua mereka harus bekerja sehingga waktu dan perhatian orang tua kepada anak terbatas. Perhatian tersebut dapat berupa meteri maupun non materi, sehingga anak kurang bermotivasi untuk belajar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang terlambat masuk dan terlambat dalam membayaran uang SPI / uang Infaq, Ciri-ciri anak yang kurang termotivasi belajar antara lain: siswa berpakaian tidak lengkap dan tidak rapi, siswa sering terlambat masuk pada saat jam pelajaran dan masih ada siswa yang membolos pada saat jam pelajaraan. (Rizka: 2013)
Motivasi belajar anak harus bisa dimuculkan dari berbagai macam hal. Mulai dari motivasi intrinsik yaitu dari diri anak sendiri dan motivasi ekstrinsik melalui perhatian orang tua pada anaknya. Peran orang tua dalam motivasi intrinsik adalah membantu anak untuk menemukan motivasi belajar pada dirinya sendiri. Contohnya ketika anak memiliki masalah belajar yang membuat anak kehilangan motivasi belajarnya, orang tua secara tidak langsung membantu mencari solusi agar anaknya bisa terlepas dari masalah belajar sehingga anak bisa menemukan kembali motivasi belajarnya. sedangkan motivasi ekstrinsiknya adalah perhatian orang tua pada anaknya. Pada contoh kasus dijelaskan bahwa keterbatasan ekonomi menyebabkan orang tua siswa Sekolah Menegah Pertama Negeri 3 Pegandon harus bekerja sehingga waktu dan perhatian orang tua kepada anak terbatas. Perhatian tersebut dapat berupa meteri maupun non materi, sehingga anak kurang bermotivasi untuk belajar.
Orang tua seharusnya memperbaiki hubungan pada anaknya dengan cara memberi perhatian yang lebih ketika berada di rumah, sehingga anak akan lebih terbuka dan mau menceritakan permasalahan belajar apa yang sedang dialami. Ketika anak sudah mulai terbuka dan menceritakan kegiatan apa saja yang ia lakukan di sekolah, peran orang tua selanjutnya adalah memberi arahan kepada anak apakah perbuatannya itu sudah benar atau salah. Ketika perbuatannya itu sudah benar misalnya seperti mendapatkan nilai bagus dengan tidak mencontek, maka berilah pujian maupun hadiah pada anak sehingga anak dapat meningkatkan perbuatan yang benar tersebut. Sedangkan ketika anak melakukan perbuatan yang salah, berikanlah penjelasan kenapa perbuatannya itu termasuk perbuatan yang salah. Maka anak akan dapat mengerti dan tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan bila perbuatan anak sudah kelewatan, maka orang tua berhak memberi hukuman pada anak. Sehingga anak akan takut dihukum kembali bila melakukan perbuatan yang salah.
2. Teori McClelland (Teori Kebutuhan Berprestasi)
McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan: “Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil”. Menurut McClelland karakteristik orang yang berprestasi tinggi (high achievers) memiliki tiga ciri umum yaitu: (1) sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) menyukai situasisituasi di mana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri, dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; dan (3) menginginkan umpan balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah.
3. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan)
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
4. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekuensi eksternal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apa yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi yang merugikan. Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru ketik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru ketik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru ketik tersebut menyenangi konsekuensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekuensi positif lagi di kemudian hari. Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekuensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas.
Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
ANALISA KASUS
Sekolah Menegah Pertama Negeri 3 Pegandon merupakan sekolah negeri yang lokasinya berada ditengah kampung desa Karangmulyo Pegandon, siswanya sebagian berasal dari keluarga menegah kebawah dengan pekerjaanya orang tua sebagian buruh home industry. Ketebatasan ekonomi menyebabkan orang tua mereka harus bekerja sehingga waktu dan perhatian orang tua kepada anak terbatas. Perhatian tersebut dapat berupa meteri maupun non materi, sehingga anak kurang bermotivasi untuk belajar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang terlambat masuk dan terlambat dalam membayaran uang SPI / uang Infaq, Ciri-ciri anak yang kurang termotivasi belajar antara lain: siswa berpakaian tidak lengkap dan tidak rapi, siswa sering terlambat masuk pada saat jam pelajaran dan masih ada siswa yang membolos pada saat jam pelajaraan. (Rizka: 2013)
Motivasi belajar anak harus bisa dimuculkan dari berbagai macam hal. Mulai dari motivasi intrinsik yaitu dari diri anak sendiri dan motivasi ekstrinsik melalui perhatian orang tua pada anaknya. Peran orang tua dalam motivasi intrinsik adalah membantu anak untuk menemukan motivasi belajar pada dirinya sendiri. Contohnya ketika anak memiliki masalah belajar yang membuat anak kehilangan motivasi belajarnya, orang tua secara tidak langsung membantu mencari solusi agar anaknya bisa terlepas dari masalah belajar sehingga anak bisa menemukan kembali motivasi belajarnya. sedangkan motivasi ekstrinsiknya adalah perhatian orang tua pada anaknya. Pada contoh kasus dijelaskan bahwa keterbatasan ekonomi menyebabkan orang tua siswa Sekolah Menegah Pertama Negeri 3 Pegandon harus bekerja sehingga waktu dan perhatian orang tua kepada anak terbatas. Perhatian tersebut dapat berupa meteri maupun non materi, sehingga anak kurang bermotivasi untuk belajar.
Orang tua seharusnya memperbaiki hubungan pada anaknya dengan cara memberi perhatian yang lebih ketika berada di rumah, sehingga anak akan lebih terbuka dan mau menceritakan permasalahan belajar apa yang sedang dialami. Ketika anak sudah mulai terbuka dan menceritakan kegiatan apa saja yang ia lakukan di sekolah, peran orang tua selanjutnya adalah memberi arahan kepada anak apakah perbuatannya itu sudah benar atau salah. Ketika perbuatannya itu sudah benar misalnya seperti mendapatkan nilai bagus dengan tidak mencontek, maka berilah pujian maupun hadiah pada anak sehingga anak dapat meningkatkan perbuatan yang benar tersebut. Sedangkan ketika anak melakukan perbuatan yang salah, berikanlah penjelasan kenapa perbuatannya itu termasuk perbuatan yang salah. Maka anak akan dapat mengerti dan tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan bila perbuatan anak sudah kelewatan, maka orang tua berhak memberi hukuman pada anak. Sehingga anak akan takut dihukum kembali bila melakukan perbuatan yang salah.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan perubahan ini berupa dorongan baik dari dalam diri siswa maupun dari luar siswa. Motivasi belajar merupakan dorongan untuk mencapai perubahan dalam dirinya, baik dalam diri siswa maupun dari luar siswa.
Motivasi belajar siswa yang berasal dari dalam, misalnya adanya keinginan untuk meraih cita - cita, keinginan untuk membuat suatu perubahan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Sebagai besar siswa Sekolah Menegah Pertama Negeri 3 Pegandon berasal dari keluarga yang kurang mampu. Oleh karena itu terdapat dorongan yang kuat untuk merubah kehidupan yang lebih baik.
Motivasi yang berasal dari luar, misalnya ingin mendapatkan hadiah dari prestasi yang diraih di sekolah. Tak jarang para orang tua memberikan stimulus kepada siswa agar termotivasi dalam belajar dengan menjanjikan sejumlah hadiah bila berprestasi. Bentuk motivasi ini sebenarnya baik, dalam menumbuhkan dorongan atau motivasi dalam diri siswa, namun harus disertai pemberian pengertian bahwa belajar tetap merupakan tanggung jawab siswa secara pribadi dalam mewujidkan kehidupan yang lebih baik.
2. SARAN
Ketika anak memiliki masalah belajar yang membuat anak kehilangan motivasi belajarnya, orang tua secara tidak langsung membantu mencari solusi agar anaknya bisa terlepas dari masalah belajar sehingga anak bisa menemukan kembali motivasi belajarnya.
Orang tua seharusnya memperbaiki hubungan pada anaknya dengan cara memberi perhatian yang lebih ketika berada di rumah, sehingga anak akan lebih terbuka dan mau menceritakan permasalahan belajar apa yang sedang dialami. Ketika anak sudah mulai terbuka dan menceritakan kegiatan apa saja yang ia lakukan di sekolah, peran orang tua selanjutnya adalah memberi arahan kepada anak apakah perbuatannya itu sudah benar atau salah. Ketika perbuatannya itu sudah benar misalnya seperti mendapatkan nilai bagus dengan tidak mencontek, maka berilah pujian maupun hadiah pada anak sehingga anak dapat meningkatkan perbuatan yang benar tersebut. Sedangkan ketika anak melakukan perbuatan yang salah, berikanlah penjelasan kenapa perbuatannya itu termasuk perbuatan yang salah. Maka anak akan dapat mengerti dan tidak akan mengulanginya lagi. Bahkan bila perbuatan anak sudah kelewatan, maka orang tua berhak memberi hukuman pada anak. Sehingga anak akan takut dihukum kembali bila melakukan perbuatan yang salah.
DAFTAR PUSTAKA
- Basuki, H. (2008). Psikologi Umum. Jakarta : Gunadarma.
- Akhmad Sudrajat. 2008. "Teori-Teori Motivasi", https://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/06/teori-teori-motivasi/, 20 April 2015
- Iftikhah, Rizka, 2013, “Pengaruh Perhatian Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar Siswa”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Bimbingan dan Konseling. Vol 1, No 3, http://e-journal.ikip-veteran.ac.id/index.php/kes/article/view/159, 19 April 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar